Oleh: KH. Syamsul Yakin
Pengasuh Ponpes Darul Akhyar
Setelah orang-orang musyrik tak berkutik menghadapi retorika al-Qur’an yang Allah sampaikan kepada Nabi, mereka tidak berhenti dan mengaku kalah. Secara membabi buta, mereka terus-menerus mengatakan bahwa mereka berada di pihak yang selamat sementara Nabi dan orang-orang yang bersamanya adalah sesat. Kengototan itu tidak hanya menimbulkan perdebatan, mamun lebih jauh mengakibatkan konflik fisik.
Untuk itu, kembali Allah meminta Nabi untuk mengatakan sepanggal kalimat suci kepada orang-orang musyrik yang tinggal Mekah. “Katakanlah, “Dialah Allah Yang Maha Penyayang kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nya-lah kami bertawakkal. Kelak kamu akan mengetahui siapakah yang berada dalam kesesatan yang nyata” (QS. al-Muluk/67: 29).
Apabila dipereteli secara saksama, ayat ini mengandung tiga pelajaran buat mereka secara tidak langsung. Pertama, seakan Nabi mengajarkan kepada mereka bahwa Allah Maha Penyayang. Andai saja mereka bersedia bertobat, tentu Allah Yang Maha Penyayang akan mengampuni mereka. Sebesar apapun dosa-dosa mereka. Asal napas masih ada di kandung badan, bukan di tenggorokan.
Kedua, seakan Nabi mengajarkan kepada mereka untuk beriman kepada Allah setelah mereka bertobat. Ada tiga indikasi iman yang harus ada pada diri mereka, yakni meyakini dengan hati bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan. Lalu mereka harus mengikrarkannya dengan lisan sebagai pancaran hati. Setelah itu mereka harus membuktikannya dengan perbuatan, seperti beribadah kepada Allah.
Ketiga, seakan Nabi mengajarkan kepada mereka untuk bertawakal setelah mengaku beriman. Karena setelah keimanan akan datang ujian. Allah berfirman, “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (hanya dengan) berkata, “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji?” (QS. al-Ankabut/29: 2). Wanti-wanti Nabi berpesan apabila hal itu terjadi.
Ketiga hal ini perlu disampaikan kepada mereka karena secara berulang-ulang mereka mengklaim diri mereka yang mendapat petunjuk sementara Nabi dan orang-orang yang bersamanya berada dalam kesesatan. Padahal, menurut pengarang Tafsir Jalalain, orang-orang musyrik akan mengetahui keadaan mereka yang sebenarnya ketika mereka menyaksikan siksa di neraka kelak.
Dari sini propaganda mereka dapat dipatahkan oleh Nabi. Mereka berharap kebohongan yang dikatakan berulang-ulang dalam setiap kesempatan dan dalam jangka waktu yang panjang, perlahan akan menjadi kebenaran. Namun yang terjadi sebaliknya, mereka bertekuk lutut di hadapan Nabi setelah Nabi menyampaikan, “Siapakah yang berada dalam kesesatan yang nyata?”.
Menurut pengarang Tafsir Jalalain, pertanyaan Nabi yang sangat menohok itu hanya memiliki dua jawaban. Pertama, “kami”, yakni Nabi dan orang-orang yang bersamanya. Kedua, “mereka”, yakni orang-orang musyrik yang benci dan menaruh dendam kepada Nabi. Benci dan dendam inilah yang membuat mereka kalah dalam berargumen.
Sejarah membuktikan setelah mereka kalah beretorika, mereka terus memanipulasi informasi tentang dakwah Nabi. Apalagi setelah di samping Nabi berdiri para pembesar Quraish seperi Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Mereka terus berkonfrontasi dengan Nabi sampai kemudian Nabi diperintahkan Allah untuk hijrah ke Madinah. Merasa kehilangan musuh, mereka berkali-kali menyerang Nabi di Madinah.
Seiring dengan respons positif orang-orang Anshar terhadap dakwah Nabi, di Madinah Islam terus berkembang. Madinah menjadi sebuah kota berperadaban yang maju secara sosial, ekonomi, dan politik. Apalagi setelah Nabi membuat Perjanjian Madinah. Dua tahun sebelum Nabi wafat, yakni pada tahun 630 M, Mekah dapat ditaklukkan. Peristiwa ini dikenal dengan “Fathu Makkah”.*